Jakarta – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menilai usulan perpanjangan masa pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN) butuh kajian yang matang.
“(Usulan) itu perlu pengkajian yang sangat matang, karena terkait dengan kebutuhan ke depan seperti apa. Dan kemampuan fiskal kapasitas negara seperti apa. Distribusi aset seperti apa. Jadi perlu proses pengkajian yang lebih matang lagi,” kata Bima Arya di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (16/6/2025).
Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sekaligus Kepala Badan Kepegawaian Negara Zudan Arif Fakrullah menyatakan bahwa Korpri secara resmi telah mengusulkan kenaikan batas usia pensiun bagi ASN kepada Presiden, Ketua DPR, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).
“Pengusulan kenaikan batas usia pensiun ini bertujuan mendorong keahlian dan karier pegawai ASN,” kata Zudan dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Dia melanjutkan, dengan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat, maka diperlukan penyesuaian batas usia ASN.
“Saya lihat tingkat harapan hidup yang makin meningkat sehingga wajar batas usia pensiun ASN ditambah, baik yang berada pada jabatan struktural maupun jabatan fungsional,” katanya.
Namun, Anggota Komisi II DPR RI Ateng Sutisna menilai wacana perpanjangan batas usia pensiun aparatur sipil negara (ASN) berisiko menghambat regenerasi birokrasi, memperburuk ketimpangan struktural, serta berdampak negatif terhadap kesejahteraan ASN.
“Saya kurang sepakat dengan wacana memperpanjang usia pensiun ASN. Negara ini bukan milik pribadi. Jika Anda pemilik perusahaan, silakan bekerja sampai kapan pun. Akan tetapi, ASN bekerja untuk negara. Ada siklus yang harus dihormati,” ujar Ateng dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (2/6/2026).
Bukan hanya sebagai hak untuk beristirahat, menurut dia, pensiun adalah fase yang wajar dalam siklus pengabdian seorang abdi negara, serta bentuk penghormatan atas dedikasi dan kesempatan untuk berkarya dalam ruang sosial lainnya.
“Jangan anggap pensiun sebagai kehilangan, tetapi sebagai penghormatan, serta kesempatan untuk menikmati hidup setelah bekerja keras,” katanya menegaskan.
Ateng lantas mengutip data BPJS Kesehatan (2023) yang menunjukkan bahwa beban klaim kesehatan ASN usia di atas 60 tahun mencapai 2,3 kali lipat daripada kelompok usia 40-55 tahun.
Hal tersebut, lanjut dia, menunjukkan bahwa memperpanjang usia pensiun justru akan meningkatkan beban negara, baik dari sisi produktivitas maupun pembiayaan kesehatan.
Selain itu, dia menyoroti pula tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia, khususnya pada kelompok usia muda.
“Tingkat pengangguran lulusan S-1 dan S-2 usia 20-30 tahun mencapai 12,3 persen. Jika usia pensiun diperpanjang, ruang masuk ASN akan makin sempit, dan talenta muda akan kehilangan kesempatan berkarya,” tuturnya.
Dia menilai ketimpangan ASN muda saat ini yang banyak menempati posisi pekerjaan teknis operasional, sementara posisi strategis didominasi oleh senior dapat menciptakan demotivasi, bahkan potensi brain drain dalam birokrasi.
Wakil rakyat yang berada di komisi yang membidangi pemerintah dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur juga mengingatkan bahwa rasio ASN terhadap penduduk Indonesia telah mencapai 1:127, yang melewati batas ideal internasional (PBB) sebesar 1:100.
Untuk itu, dia memandang yang dibutuhkan saat ini bukan memperpanjang masa aktif ASN yang sudah waktunya pensiun, melainkan melakukan efisiensi, digitalisasi, dan regenerasi birokrasi.
Ateng menilai wacana perpanjangan usia pensiun tidak berpihak pada nasib tenaga honorer dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang jumlahnya masih sangat besar dan banyak belum diangkat menjadi ASN karena keterbatasan fiskal negara. (Norman)






