Jakarta – Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Staf Khusus eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, Fiona Handayani (FH), untuk mendalami penyelidikan proyek Google Cloud dalam program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek.
Informasi tersebut dibenarkan oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo. “Benar ada pemeriksaan tersebut,” kata Budi ketika dikonfirmasi wartawan, Rabu (30/7/2025).
Namun, Budi enggan membeberkan materi pokok pemeriksaan terhadap Fiona karena proses penanganan perkara masih berada dalam tahap penyelidikan yang bersifat tertutup.
“Namun karena masih tahap penyelidikan tentu belum bisa kami sampaikan secara rinci,” ucap Budi.
Proyek Google Cloud
Sebelumnya diberitakan, KPK tengah mendalami dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan Google Cloud di Kemendikbudristek pada masa kepemimpinan Nadiem Makarim. Fokus penyelidikan diarahkan pada sistem sewa serta dugaan markup harga dalam proyek tersebut.
Diketahui, Kemendikbudristek menyewa layanan Google Cloud senilai Rp400 miliar untuk durasi satu tahun. Namun, dikabarkan bahwa kontrak tersebut telah berjalan selama tiga tahun dan hingga kini masih berlangsung.
“Ya itu (sewa Google Cloud) yang sedang kita dalami,” ujar Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, melalui keterangannya, Jumat (25/7/2025).
Asep belum bersedia menjelaskan lebih rinci mengenai kontrak sewa tersebut, termasuk nilai perjanjiannya. Ia juga mengonfirmasi bahwa KPK sedang menyelidiki potensi terjadinya markup harga dalam pengadaan tersebut.
“Ini yang sedang. Ini yang sedang kita dalami. Apakah ini terjadi kemahalan. Ini yang sedang kita dalami,” kata Asep.
Lebih lanjut, Asep menyampaikan bahwa KPK turut menelusuri aspek teknis dari pengadaan layanan penyimpanan data tersebut, termasuk dasar pemilihan Google sebagai penyedia cloud untuk proyek di Kemendikbudristek.
“Nah itu prosesnya ya, tunggu ini masih lidik. Sabar,” imbuh Asep.
Selain soal harga dan proses pengadaan, KPK juga mendalami kemungkinan terjadinya kebocoran data dalam penggunaan Google Cloud. Hal ini merujuk pada catatan kebocoran atau penyalahgunaan data di berbagai ekosistem digital di Indonesia. Selain Kemendikbudristek, sejumlah kementerian dan lembaga lain juga dikabarkan menggunakan layanan serupa.
“Makanya ada kebocoran data dan lain-lain waktu itu kan. Nah itu juga sedang kita dalami. Apakah itu memang satu bagian yang sama atau bagian yang berbeda pengadaannya gitu ya. Sedang kita dalami,” ucap Asep.
Ia menambahkan, penyelidikan ini juga memperhatikan konteks kebocoran data di institusi lain sebagai bahan pembanding.
“Enggak, waktu itu kan ada kebocoran data tuh, perkara kebocoran data. Ya apakah itu di Cloud yang sama (Google Cloud) atau berbeda. Nah itu juga sedang (didalami KPK),” ucap Asep.
KPK kini fokus menyelidiki pengadaan Google Cloud di Kemendikbudristek pada masa Menteri Nadiem Makarim, terutama saat pandemi Covid-19.
Asep menjelaskan bahwa pengadaan tersebut berkaitan dengan proyek digitalisasi pendidikan, khususnya pengadaan laptop Chromebook yang kini tengah disidik Kejaksaan Agung. Namun, KPK membatasi penyelidikannya pada aspek pengadaan layanan Google Cloud.
“Ini kita fokus ke Google Cloud. Kan tadi ada. Pengadaan Chromebook. Itu perangkat kerasnya. Nah ini yang penyimpanan,” ujar Asep kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (24/7/2025).
Ia menambahkan bahwa Google Cloud digunakan untuk mendukung penyimpanan data dalam Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan platform lainnya guna menunjang pembelajaran daring selama pandemi. Menurut pemerintah, langkah ini bertujuan memperluas akses pendidikan, meningkatkan transparansi, dan memudahkan pembelajaran jarak jauh.
“Waktu itu kita ingat zaman Covid ya, pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran daring. Tugas-tugas anak-anak kita yang sedang belajar dan lain-lain, kemudian hasil ujian itu datanya disimpan dalam bentuk Cloud. Google Cloud-nya,” ucap Asep.
Asep juga menyebut ada komponen pengadaan lain dalam program digitalisasi pendidikan yang turut menjadi perhatian KPK, seperti bantuan kuota internet bagi pelajar, guru, dosen, dan mahasiswa. Namun, detail lebih lanjut belum dapat disampaikan karena penyelidikan masih berlangsung.
“Itu juga nanti merupakan bagian-bagian dari itu. Betul kan ini ada bagian-bagiannya nih. Ada perangkat kerasnya. Ada tempat penyimpanan datanya. Ada paket datanya untuk menghidupkan itu. Iya betul om. Jadi ada beberapa paketnya kan seperti itu,” tuturnya.
Korupsi Chromebook
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah lebih dulu meningkatkan status perkara terkait program digitalisasi pendidikan Kemendikbudristek periode 2019–2022 ke tahap penyidikan, dengan fokus pada pengadaan laptop Chromebook. Kasus tersebut resmi masuk tahap penyidikan pada 20 Mei 2025.
Hingga Selasa (15/7/2025), penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah menetapkan empat tersangka, yaitu:
- Jurist Tan, mantan Staf Khusus Mendikbudristek
- Ibrahim Arief, mantan konsultan teknologi di Warung Teknologi Kemendikbudristek
- Sri Wahyuningsih, mantan Direktur Sekolah Dasar sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Direktorat SD TA 2020–2021
- Mulyatsyah, mantan Direktur SMP dan KPA Direktorat SMP TA 2020–2021
Dalam konstruksi perkara, keterlibatan Nadiem disebut bermula sejak Agustus 2019, saat ia bersama Jurist Tan dan Fiona Handayani (FN) membentuk grup WhatsApp “Mas Menteri Core Team” untuk merancang program digitalisasi berbasis ChromeOS. Setelah dilantik sebagai menteri pada Oktober 2019, Nadiem memerintahkan Jurist untuk menindaklanjuti proyek tersebut.
Jurist kemudian menjalin komunikasi dengan pihak Google, yakni WKM dan PRA (Putri Ratu Alam), untuk membahas skema co-investment sebesar 30 persen dari Google, dengan syarat semua pengadaan teknologi harus berbasis ChromeOS.
Jurist menunjuk Ibrahim Arief sebagai konsultan teknologi yang mendorong tim teknis agar hanya mengarah pada produk Google. Kajian awal yang tidak mencantumkan ChromeOS ditolak, lalu kajian kedua disusun ulang sebagai dasar resmi pengadaan. Pada April 2020, Nadiem, Jurist, dan Ibrahim bertemu langsung dengan pihak Google untuk menyusun strategi implementasi Chromebook dan Workspace.
Dalam pelaksanaan proyek, Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah mengarahkan pengadaan kepada vendor tertentu, termasuk PT Bhinneka Mentari Dimensi. Vendor tersebut bahkan diminta memesan unit secara mendadak pada malam hari, 30 Juni 2020, di Hotel Arosa, Bintaro. Petunjuk pelaksanaan dirancang sedemikian rupa agar spesifikasi hanya mengacu pada ChromeOS, dengan harga satu paket sekolah mencapai Rp88,25 juta untuk 15 laptop dan satu konektor.
Kejaksaan mencatat kerugian negara mencapai Rp1,98 triliun, terdiri atas markup harga laptop sebesar Rp1,5 triliun dan perangkat lunak Chrome Device Management (CDM) sebesar Rp480 miliar. Sebanyak 1,2 juta unit Chromebook dinilai tidak optimal digunakan, terutama di wilayah 3T, karena keterbatasan sistem operasi.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Risky)





