Jakarta – Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menyebut bila OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap oknum jaksa di Banten dan Hulu Sungai Utara merupakan momentum Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan reformasi internal.
“Dengan OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap jaksa, seharusnya menjadi pintu masuk bagi Kejagung dalam melakukan reformasi internal kelembagaan,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Minggu (21/12/2025).
Dia menilai, keputusan Kejagung menerima pelimpahan kasus OTT oknum jaksa di Banten dari KPK menunjukkan kurangnya komitmen pemberantasan korupsi di kalangan penegak hukum. Sebab, fakta adanya oknum jaksa yang ditangkap membuktikan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan di internal tidak berjalan secara baik.
“Padahal, fungsi pengawasan internal penting untuk dilakukan guna memastikan kerja penegakan hukum oleh Kejagung dilakukan secara tepat,” sambungnya.
Wana mengatakan, Data ICW mengungkapkan bahwa sejak 2006 hingga 2025 ada 45 jaksa yang ditangkap karena terlibat tindak pidana korupsi, 13 di antaranya ditangkap KPK. Sejak ST Burhanuddin menjabat Jaksa Agung pada 2019, kata dia, tujuh jaksa telah ditangkap akibat kasus korupsi, yang menunjukkan indikasi kegagalan reformasi di Kejagung.
Lebih lanjut, dia khawatir adanya potensi konflik kepentingan mengingat beberapa pimpinan KPK sebelumnya bekerja sebagai jaksa. Hal ini terlihat saat KPK menyerahkan berkas OTT kepada Kejagung, meski KPK memiliki kewenangan menangani korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK.
Menurut Wana, minimnya transparansi dalam penanganan perkara berpotensi membuka praktik transaksional antara aparat penegak hukum dengan tersangka, yang bisa mengarah pada pemerasan atau kesepakatan tidak sah untuk menghentikan proses hukum.
“Penanganan kasus jaksa korup oleh Kejagung dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi melokalisir kasus. Penting untuk dipahami bahwa OTT merupakan langkah awal untuk dapat mengembangkan perkara, yang berpotensi melibatkan aktor lain,” tukasnya.
Dia menegaskan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XXIII/2025 sudah menyebut bahwa apabila personel kejaksaan tertangkap tangan melakukan tindak pidana, proses hukum dapat dilanjutkan tanpa izin Jaksa Agung.
“Karena itu, pelimpahan perkara korupsi yang melibatkan jaksa kepada Kejagung patut dipertanyakan, karena berpotensi mencerminkan lemahnya peran dan keberanian KPK dalam melakukan penindakan korupsi yang melibatkan APH,” tutup Wana.
Seperti diketahui, KPK melakukan OTT di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel, pada 18 Desember 2025, dan menangkap enam orang termasuk Kepala Kejari Hulu Sungai Utara Albertinus Parlinggoman Napitupulu, dan Kepala Seksi Intelijen Kejari Hulu Sungai Utara Asis Budianto.
Sementara OTT di Banten terkait dugaan pemerasan yang dilakukan seorang jaksa bersama penasihat hukum dan penerjemah terhadap warga negara Korea Selatan. OTT tersebut dilakukan KPK di Banten dan Jakarta pada 17-18 Desember 2025. Kemudian KPK memutuskan melimpahkan berkas perkara beserta barang buktinya kepada Kejagung. (Lucas)








